Langit masih nampak gelap gulita ketika saya keluar dari pintu rumah
dan menyalakan mobil saya, waktu di jam tangan saya menunjukkan pukul
04:00 WIB. Udara dingin pagi ini cukup mampu memaksa saya untuk membalut
tubuh saya dengan sebuah jaket, dan pilihan saya pagi ini jatuh pada
jaket berwarna hitam dengan kombinasi warna orange bertuliskan Persija
Jakarta di bagian belakangnya.
Sambil menyerahkan sebuah termos kecil berisi kopi panas, Dewi istri
saya berkata "Hati-hati ya cin, pelan-pelan saja nyetirnya, kalo sudah
sampai jangan lupa kabarin". "Iya sayang, pasti aku kabarin" jawab saya
lirih sambil menerima setermos kopi dari tangan istri saya. Beberapa
saat kemudian, setelah mesin mobil saya rasa cukup panas dan setelah
mencium Dewi istri saya tercinta, maka sayapun bergegas memacu kendaraan
saya membelah suasana dingin dan tipisnya kabut pagi ini..
Tujuan saya pagi ini adalah untuk bergabung dengan tim Persija
Jakarta yang tengah melakukan pemusatan latihan di hotel Mangkuputra,
Cilegon, Banten. Jalanan kota Jakarta pagi ini masih sangat lengang,
sangat bertolak belakang dengan saat di siang hari. Selama perjalanan
banyak sekali hal berkecamuk dalam benak saya. Hal-hal yg berkaitan
dengan pekerjaan saya sebagai pesepakbola silih berganti lalu-lalang di
kepala saya ketika ini. Ingin rasanya saya menuliskan hal-hal tersebut
di iPad kesayangan saya. Akan tetapi apalah daya, tidak mungkin juga
saya melakukan dua buah hal yg sama-sama membutuhkan konsentrasi tinggi
secara bersamaan, yaitu menulis dan mengemudikan kendaraan..
Andai saja saya Adam Gibson (Arnold Schwarzenegger) dalam film The 6th Day
yang tinggal mengatakan mana tujuan saya dan mobil akan berjalan dengan
sendirinya. Atau mungkin Tony stark (Robert Downey Jr) dalam Iron Man
yang memiliki asisten super cangging bernama Jarvis, makan saya yakin
dalam 1,5 jam kedepan saat saya memasuki kota Cilegon, sebuah artikel
utuh sudah berada di dalam iPad saya dan siap disajikan di blog saya
bambangpamungkas20.com. Namun pada akhirnya dikarenakan keterbatasan
kemampuan tersebut,keinginan untuk menulispun harus saya tahan hinga
siang harinya..
Keterpurukan tim nasional Indonesia dalam mengarungi babak
kualifikasi piala dunia 2014 menyisakan kegundahan serta kekecewaan yang
luar biasa di hati seluruh masyarakat Indonesia. Tanpa mendapatkan satu
poinpun dari 5 kali pertandingan jelas sebuah hasil yang menyedihkan
atau dapat juga dikatakan sangat memalukan. Terlepas dari kualitas
lawan-lawan yang dihadapi memang lebih baik, akan tetapi seharusnya kita
mampu berbuat atau menyajikan penampilan yang lebih baik dari apa yng
sudah kita pertontonkan selama gelaran kualifikasi ini..
Seperti yang pernah saya sampaikan dalam artikel (Bola Itu Berada Di Tangan Kita - 2009), bahwa - "Harus selalu ada pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kegagalan".
Begitu pula saat ini, banyak sekali suara-suara di luar sana yang
menunjuk pelatih kepala tim nasional Indonesia Wim Rijsbergen sebagai
orang yang paling bertanggung jawab atas hasil buruk tim yang didapat
nasional saat ini..
Hal tersebut membuat begitu banyak orang menginginkan pelatih
berkebangsaan Belanda tersebut untuk lengser diri dari jabatan pelatih
kepala tim nasional Indonesia. Disamping itu, tidak kalah banyak juga
masyarakat yang menginginkan kapten tim nasional Bambang Pamungkas dan
wakil kapten ti nasional Firman Utina untuk mengundurkan diri dari tim
nasional Indonesia..
Pada artikel ini ijinkan saya untuk membahas perihal pelatih tim
nasional Wim Rijsbergen terlebih dahulu, sedang perihal tuntutan
pengunduran diri kepada Bambang Pamungkas dan Firman Utina nantinya akan
saya bahas di bagian akhir dari artikel ini..
Dalam jumpa pers setelah pertandingan Indonesia melawan Iran yg
berkesudahan 1:4 untuk kemenangan anak asuhan Carlos Queroz tersebut,
saya sempat berbicara cukup keras di depan semua awak media yg hadir
ketika itu. Beginilah kurang lebih ucapan saya ketika itu:
"Saya adalah pribadi yang selalu berusaha untuk menilai
segala sesuatunya secara fair. Dahulu ketika Alfred Riedl dipecat, saya
adalah pemain yang berteriak paling lantang dalam menyuarakan ketidak
sependapatan saya. Ketika itu saya sama sekali tidak menolak kehadiran
Wim sebagai pelatih tim nasional, akan tetapi yang saya kritisi adalah
keputusan PSSI yang terkesan semena-mena dalam memperlakukan Alfred
Riedl. Saya menilai keputusan PSSI untuk melengserkan Riedl ketika itu
sarat muatan muatan politis..
Beberapa waktu yang lalu saat kita kalah melawan Bahrain
dan Wim terkesan menyalahkan para pemain, saya adalah orang pertama yang
bersinggungan langsung dengan beliau. Bahkan dikarenakan hal tersebut,
sejujurnya kami sempat tidak berjabat tangan dan tidak saling tegur
dalam beberapa waktu. Akan tetapi saat ini, ketika semua orang
menyalahkan Wim atas kegagalan tim nasional Indonesia untuk bermain baik
selama penyisihan piala dunia 2014, saya jugalah orang pertama yang
akan membela pelatih saya tersebut..
Mengapa demikian..?? Terlepas dari kekurangan dan
kelebihan Wim sebagai seorang pelatih, semua pihak juga harus turut
bertanggung jawab atas kegagalan ini. Sangat kurang bijaksana rasanya
jika hanya pelatih yang dipersalahkan. Semua pemain termasuk saya
pribadi sebagai kapten tim nasional Indonesia juga harus mempertanggung
jawabkan kinerja kami. Demikian halnya dengan Ketua Umum PSSI Bpk Djohar
Arifin yang juga harus berjiwa besar mengakui kegagalannya..
Bagaimana kita dapat menghadapi event sebesar kualifikasi
piala dunia dengan baik, jika liga Indonesia sendiri sudah tidak
bergulir selama kurang lebih 5 bulan. Pemain tidak memiliki jam terbang
kompetitif di tiap minggunya, tidak ada ujicoba international yang cukup
memadai, belum lagi kekacauan penyusunan kompetisi yang semrawut yang
dampaknya membuat beberapa tim tidak dapat melakukan persiapan dengan
maksimal. Hal tersebut membuat banyak pemain tidak dapat menjalankan
program latihan dengan baik serta maksimal sebagaimana mestinya..
Sebagai contoh, jika seorang pelatih merasa kurang puas
dengan kinerja pemainnya, maka logikanya pelatih tersebut akan memanggil
pemain baru untuk menambah daya dobrak atau kekuatan tim. Dalam hal ini
Wim tidak dapat melihat pemain-pemain baru karena tidak ada kompetisi
yang sedang bergulir. Keterbatasan stok pemain karena tidak adanya
kompetisi tersebut, juga merupakan salah satu kendala besar yang mau
ngga mau harus dialami oleh Wim dalam meramu kekuatan tim nasional
Indonesia saat ini..
Hal tersebutlah yang mendasari pendapat saya jika
kegagalan ini bukan semata-mata menjadi tanggung jawab Wim. Wim memang
harus bertanggung jawab sesuai dengan porsinya sebagai pelatih kepala
tim nasional, akan tetapi kami seluruh pemain juga harus bertanggung
jawab, karena walau bagaimanapun kami adalah pasukan yang berjibaku
secara langsung di atas lapangan. Ketua Umum PSSI juga harus bertanggung
jawab, mengapa..?? karena jalan atau tidaknya roda kompetisi di
Indonesia ini jelas berada di tangan beliau, sebagai pengambil keputusan
tertinggi dalam organisasi bernama PSSI"..
Oleh karena itu, sebagai bentuk pertanggungjawaban itu, saya sangat
setuju jika nantinya diadakan evaluasi menyeluruh dalam tubuh tim
nasional Indonesia saat ini. Apalagi jika kita melihat penampilan tim
nasional U-23 yang sangat impresif selama gelaran SEA Games yang lalu.
Menurut pendapat saya pribadi, pemain-pemain muda kita sudah cukup layak
untuk mulai memikul tanggung jawab membela panji-panji tim nasional
senior..
Pemain-pemain seperti Titus Bonai, Patrich Wanggai, Hasim Kipaw,
Diego Michiels, Egi Melgiansyah, Okto Maniani, Andik Vermansyah,
Abdurrahman dan juga Kurnia Meiga rasanya sudah cukup pantas diberi
kesempatan untuk naik ke kelas tim senior..
Terlepas dari kegagalan tim nasional U-23 untuk meraih emas di SEA
Games karena dikalahkan Malaysia di final, menurut pendapat saya dengan
materi pemain-pemain seperti mereka, rasanya masa depan sepakbola
Indonesia terlihat cukuplah cerah..
Sepakbola adalah olahraga tim, oleh karena itu tidak akan pernah
terjadi sebuah individu menjadi lebih penting daripada sebuah tim itu
sendiri. Kita tidak akan pernah mampu memenangkan pertandingan hanya
karena satu atau dua individu yang spesial. Kemenangan sebuah tim akan
selalu terjadi dari hasil kinerja semua individu di dalam tim tersebut.
Satu, dua individu mungkin saja tampil lebih menonjol dari individu yang
lain, akan tetapi itu bukan menjadi sebuah alasan untuk tidak
mengapresiasi kinerja individu-individu yang lain..
Begitu pula sebaliknya, kekalahan atau kegagalan sebuah tim tidak
seharusnya juga hanya menjadi tanggung jawab beberapa individu saja.
Satu, dua individu mungkin saja tampil di bawah performa terbaik mereka,
akan tetapi alangkah kurang bijaksananya jika kita hanya melemparkannya
semua kesalahan kepada individu-individu tersebut.
"Bukankah sebuah tim yang baik adalah tim yang terdiri
dari individu-individu yang dapat saling mendukung, saling menutupi
serta saling membantu antara individu satu dengan individu yang lain"..
Oleh karena itu dalam artikel (Indonesia Masih Bisa - 2010) saya pernah menyampaikan bahwa "Kita menang sama-sama dan sudah seharusnya kita juga kalah bersama-sama".
Maka mari kita pertanggungjawabkan kegagalan ini bersama-sama. Pelatih,
pemain dan juga Ketua Umum PSSI harus berjiwa besar untuk
mempertanggungjawabkan kinerja nya sesuai dengan porsinya
masing-masing..
Terlepas dari itu semua bagi saya pribadi, jika pertandingan melawan
Iran kemarin pada akhirnya menjadi caps terakhir saya untuk tim nasional
Indonesia, maka dengan lapang dada saya dapat menerima keputusan
tersebut. Akan tetapi seperti apa yang juga sempat saya kemukakan dalam
konferensi pers setelah pertandingan tersebut, bahwasanya:
"Masa depan saya di tim nasional, bukan berada di tangan
rekan-rekan wartawan, bukan berada di tangan para suporter di luar sana,
bukan di tangan komentator di TV-TV sana, bukan juga di tangan Ketua
Umum PSSI Bpk Djohar Arifin. Masa depan saya di tim nasional berada di
tangan pelatih tim nasional, siapapun nantinya yang akan menjabat
sebagai pelatih tim nasional Indonesia. Ketika pelatih berkata "Bambang
terima kasih atas kerja samanya, saya tidak membutuhkan tenaga kamu
lagi", maka dengan sendirinya karir saya di tim nasional akan selesai
saat itu juga. Sesederhana itu bukan..??
Akan tetapi sebaliknya, jika pelatih tim nasional masih
memanggil dan membutuhkan tenaga saya, maka sudah menjadi kewajiban saya
untuk memenuhi panggilan tersebut dan tidak alasan bagi saya untuk
menolaknya. Ini bukan karena serakah atau tidak tahu diri, akan tetapi
hal tersebut lebih kepada apresiasi tinggi dan tanggung jawab moral saya
terhadap sebuah profesi yang telah membesarkan nama saya dan membuat
saya dapat berada di tempat dimana saya berdiri saat ini"..
Dan saya yakin hal tersebut juga ada di benak sahabat dan yang juga
wakil saya sebagai kapten tim nasional Indonesia Firman Utina. Menjadi
pemain nasional adalah impian terbesar seluruh pemain sepakbola di
belahan dunia manapun, karena hal tersebut merupakan sebuah tanggung
jawab, sebuah kehormatan dan juga sebuah pengabdian seorang pemain
sepakbola kepada olahraga yang mereka geluti dan juga kepada negara yang
mereka cintai..
Sekali lagi kegagalan ini adalah tanggung jawab kita bersama, maka
dari itu mari kita hadapi semua ini bersama-sama. Kegagalan demi
kegagalan akan selalu meninggalkan rasa pahit yang luar biasa, serta
tidak jarang rasa frustasipun timbul disana, akan tetapi itu semua tidak
seharusnya membuat kita berhenti untuk berusaha dan berhenti berjuang
untuk memperbaiki dunia persepakbolaan negeri yang kita cintai ini.
Karena: "If we stop trying, that means we are no better than a coward”..
Selesai..
Sumber : :http://bambangpamungkas20.com/bepe/baca/artikel/timnas/2011/11/27/112/ini-tanggung-jawab-bersama#.URzdw8g-1gA
No comments:
Post a Comment