Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Yang sama-sama kami cintai dan muliakan, Ibu Megawati Soekarnoputri
Presiden RI kelima. Yang saya hormati Bapak Try Sutrisno, Bapak Hamzah
Haz, Bapak Muhammad Jusuf Kalla Wakil Presiden yang mengemban tugas pada
masa bhakti beliau masing-masing.
Saudara Wakil Presiden RI.
Saudara Ketua MPR RI dan para pimpinan lembaga-lembaga negara. Serta
segenap anggota MPR RI. Para menteri kabinet Indonesia Bersatu. Para
pimpinan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Yang
sama-sama kita muliakan para sesepuh dan tokoh nasional. Hadirin
sekalian yang saya hormati.
Dengan terlebih dahulu memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan
YME, pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang tinggi kepada Ketua MPR RI Taufiq Kiemas yang memiliki memprakarsai
untuk bersama-sama memperingati pidato bersejarah Bung Karno yang
disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945.
Bicara tentang Pancasila tentu kita bicara tentang pidato Bung Karno
pada 1 Juni 1945, oleh karena itu mari kita jadikan peringatan ini untuk
memahami pemikiran-pemikiran besar Bung Karno untuk mengetahui jejak
dan proses sejarah dijadikannya Pancasila sebagai dasar negara.
Dan kemudian tidak kalah pentingnya, bagaimana kita
mengaktualisasikan dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan
bangsa dan negara di masa kini dan masa depan.
Saya ingin merespons terlebih dahulu apa yang disampaikan pimpinan MPR, Pak Taufiq Kiemas, tadi.
Saya setuju dan menggarisbawahi bahwa rangkaian hubungan sejarah
mulai 1 Juni 1945 hingga teks final Pancasila yang di-”undang-undang
dasar”-kan menjadi konstitusi pada 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan
dalam proses kelahiran falsafah Pancasila.
Saya juga setuju terhadap yang disampaikan pimpinan MPR tadi bahwa
Pancasila dan UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika adalah empat pilar
utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ini penting saya garisbawahi empat-empatnya harus menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara sepanjang masa.
Empat tahun lalu pada tanggal 1 Juni 2006 kita juga memperingati
sesungguhnya pidato Bung Karno 1 Juni 1945, sebagian besar yang ada di
ruangan ini juga turut hadir dalam acara penting itu. Kita mengangkat
pemikiran-pemikiran besar Bung Karno dengan tujuan untuk mendapatkan
aktualisasi dalam merespon perkembangan jaman.
Pada saat ini juga pidato saya akan mengedepankan sejumlah pemikiran
besar Bung Karno yang saya anggap relevan untuk menghadapi keadaan baik
yang dihadapi oleh bangsa kita dan dihadapi oleh dunia.
Secara khusus waktu itu saya mengangkat pemikiran Bung Karno misalnya
hubungan antara nasionalisme dan internasionalisme atau kemanusiaan,
hubungan demokrasi dan kesejahteraan dan keadilan sosial, termasuk
bagaimana bangsa kita dalam mengedepankan kehidupan beragama sepatutnya
dijalankan dan sejumlah pikiran besar beliau lainnya yang saya sampaikan
pada 2006 lalu.
Di sisi lain pada saat itu kalau kita ingin mengaitkan Pancasila
dengan transformasi dan reformasi sedang kita jalankan ini maka marilah
kita mengaitkan reformasi sejatinya adalah “continuity” dan “change”.
Hal-hal yang masih relevan apalagi berharga dari pendahulu utamanya
disampaikan oleh pimpinan MPR tadi harus sudah dipastikan tetap ada.
Hal-hal baru bisa untuk membuat kehidupan bernegara menjadi lebih
baik tanpa menggoyahkan dan meninggalkan apa yang saya sebut nilai-nilai
dasar, konsensus dasar, dan di sini tentu salah satu pilar.
Pentingnya nilai dasar telah kita sepakati sejak Indonesia merdeka,
tidak sepatutnya kita perdebatkan kembali Pancasila sebagai dasar negara
ini. Ini penting karena Ketetapan MPR pada 1998 melalui TAP MPR No 18
Tahun 1998 maka Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara. Saya
kira mari patrikan dan hentikan perdebatan tentang Pancasila sebagai
sadar negara karena itu kontraproduktif dan juga ahistoris.
Saya tidak akan mengulangi apa yang telah kita bahas pada peringatan 1
Juni 2006 karena saya memandang tetap relevan dengan perkembangan dan
tantangan yang kita hadapi dewasa ini.
Dalam pidato ini ingin saya sampaikan, ingin mengangkat dua substansi
utama. Pertama, saya ingin mengangkat kembali sejumlah pikiran penting
Bung Karno yang disampaikan pada 1 Juni 1945 termasuk apa relevansinya
terhadap perkembangan jaman sekarang ini dan lantas aktualisasinya
seperti apa agar lebih ke depan kehidupan berbangsa dan bernegara
semakin kuat dan kokoh.
Ketika saya menyampaikan butir-butir pemikiran cemerlang Bung Karno
ini saya ingin meletakkan diri sebagai salah satu anak bangsa, seseorang
yang sejak muda telah melihat pemikiran cemerlang Bung Karno.
Saya kira generasi seumur kita ini waktu mengikuti pendidikan SMP dan
SMA mulai membaca pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Sedangkan substansi
kedua berangkat dari apa itu dan bagaimana apa yang mesti kita lakukan
untuk memastikan kehidupan bangsa dan negara mengarah pada arah yang
benar sesuai dengan empat pilar kehidupan berbangsa sesuai dengan jati
diri dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Tentu saja meski kita punya empat pilar, sangat penting bangsa kita
harus tetap adaptif, tetap punya visi menjangkau ke depan agar pada abad
ke-21 Indonesia benar menjadi negara bermartabat dan sejahtera.
Izinkan saya untuk mengulangi bagian pertama daro peringatan ini yang ingin mengedepankan tujuh pemikiran penting Bung Karno.
Yang pertama, sebelum menyampaikan kandungan dari pidato bersejarah,
Bung Karno mengingatkan sidang BPUPKI waktu itu bahwa yang hendak
dicari, ditemukan, dan disepakati adalah dasar Indonesia merdeka. Saya
membaca berulang-ulang mengapa Bung Karno dalam mukadimah mengungkapkan
seperti itu.
Nampaknya penyebabnya tiga hari itu sudah terkesan melebar,
berlarut-larut, dan mungkin lepas dari konteks, oleh karena itu Bung
Karno justru ingin mengajak sidang waktu itu untuk fokus bahwa apa yang
dirumuskan bersama adalah dasar atau falsafah Indoensa merdeka, bahkan
diberikan contoh Hitler Jerman mengambil nasionalisme sebagai dasar,
Lenin mengambil marxisme materialisme dialektika historis.
Bung Karno membandingkan negara-negara lain yang memilih dasar
kehidupan bernegara itu menurut telaah saya untuk memudahkan sidang
untuk memahami apa yang sedang dicari untuk menjadi benar-benar dasar
dan falsafah Indonesia merdeka.
Bahkan sekarang pun kejelasan seperti itu masih sangat penting karena
di antara rakyat kita masih bertanya apa atau dalam makna dan
pengertian seperti apa Pancasila jadi dasar negara kita, menjadi asas
negara kita, dan saya ingatkan dasar negara itu bukanlah visi, “grand
strategy”, bukan juga haluan, meski sebuah negara memerlukan visi,
“grand strategy”, dan haluan, tetapi di atas segalanya adalah fondasi
atau dasar ini.
Kekuatan pidato 1 Juni 1945 justru dimulai dari apa yang hendak dirumuskan yang menjadi dasar Indonesia merdeka.
Kedua, mari kita melanjutkan untuk memahami pemikiran esensial Bung
Karno yang kemudian dalam prosesnya menjadi jiwa dan nafas Pancasila
sebagaimana yang akhirnya dirumuskan dalam teks 18 Agustus 1945.
Dasar negara yang ditawarkan Bung Karno dalam pidato ini ada lima,
pertama kebangsaan atau nasionalisme, kedua kemanusiaan atau
internasionalisme, ketiga musyawarah mufakat atau demokrasi, keempat
kesejahteraan sosial, dan paling penting adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lima butir itulah yang mengedepan secara eksplisit pada pidato 1 Juni
1945. Kalau kita renungkan sangat gamblang sekali Bung Karno bicara
nasionalisme atau kebangsaan dan internasionalisme atau kemanusiaan,
bicara mufakat atau demokrasi yang menjadi favorit masyarakat global
sekarang ini, bicara kesejahteraan sosial yang menjadi “never ending
goal” dari setiap pembangunan dan di atas segalanya adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Setelah melalui proses perdebatan seru dan menyejarah kita paham
betul dinamika perdebatan para “founding fathers” antara Bung Karno,
Bung Hatta, M Yamin, Soepomo, banyak sekali tokoh-tokoh urun rembuk
untuk mencari seperti apa dasar negara itu yang akhirnya “consensus
building” telah tercapai dan pancasila yang disampaikan pada1 juni yang
jadinya dipilih jadi dasar negara.
Oleh Karena itu masih dalam konteks pidato 1 juni apa hubungan
pancasila dengan Bung Karno menurut beliau sendiri bahkan ketika sudah
menjadi presiden kita ikuti pidato-pidatonya beliau mengatakan saya
menggali pancasila dari buminya Indonesia.
Jadi, beliau adalah penggali pancasila dan Bung Karno saya kutip dari
kata-kata beliau telah memikirkan dasar dan falsafah ideologi Indonesia
merdeka itu selama 27 tahun sejak tahun 1918 usia 17 tahun sampai 1945
ketika pidato 1 Juni disampaikan.
Soekarno muda sudah memikirkan tentang dasar bangsa Indonesia
merdeka. Bung Karno lah yang pertama menggunakan istilah Pancasila pada
pidato 1 Juni 1945 dan kalau kita meletakkan sendiri dalam proses itu,
sejak 1 Juni, 22 Juni, 18 Agustus 1945, Bung Karno memiliki peran
sentral dalam merumuskan pancasila itu.
Saya ingin mengedepankan sejarah itu, sejarah adalah sejarah, oleh karena itu harus kita pahami.
Ketiga, marilah kita bicara sekarang pemikiran besar beliau tentang
nasionalisme atau kebangsaan Indonesia, mana yang paling relevan untuk
masa kini dan masa depan. Bung Karno mengatakan nasionalisme yang
dimaksud bukan kebangsaan menyendiri. Kata-kata beliau mengenai
persatuan dunia, persaudaraan dunia, sehingga tidak perlu
dipertentangkan dengan kemanusiaan atau internasionalisme.
Nasionalisme bergandengan erat dengan internasionalisme atau
kemanusiaan. Aplikasinya marilah tidak menjadikan nasionalisme sebagai
“narrow nasionalisme” dan jangan kita memusuhi bangsa-bangsa lain di
dunia atau yang serba asing dalam globalisasi pun kita harus percaya
diri.
Tidak perlu harus gamang dan melihat sebagai ancaman sesungguhnya
karena sejak lahirnya pancasila sudah disatukan antara nasionalisme dan
internasionalisme.
Keempat, yang hendak kita dirikan menurut Bung Karno sebuah negara
kebangsaan, negara nasional. Beliau katakan mengikuti Ernest Renan,
seorang Prancis, apa yang disebut bangsa apa syaratnya.
Kedua-duanya disebutkan di situ, tidak cukup hanya ada manusia,
wilayah, dan pemerintah, tetapi kehendak akan bersatu. Dalam alam dewasa
ini di era desentralisasi dan otonomi daerah, sekarang ini kita melihat
banyak positif dengan desentralisasi dan otonomi daerah sebagai koreksi
pemerintahan sentralistik pada masa lalu.
Kita lihat juga ada ekses, ada hal-hal yang harus kita cegah untuk
tidak membesar, yang menjauh dari kehendak sebuah bangsa yang bersatu,
yaitu kebangsaan nasionalisme Indonesia. Muncul primordialisme,
agamasentris, kedaerahan, ataupun ikatan identitas serba sempit. Dalam
konteks ini pemimpin dan tokoh seluruh Indonesia harus menjadi contoh,
pelopor, jangan justru ikut-ikutan mengembangkan ikatan-ikatan sempit.
Dalam Pilkada masih ada nuansa yang jauh dari semangat kebangsaan,
berpihak, masih ada perkelahian antar suku dan agama di berbagai tempat
Mari kembali ke semangat kebangsaan Indonesia, kehendak bersatu.
Desentralisasi dan otonomi daerah diambil manfaatnya, tujuan utamanya,
seraya mencegah ekses dan penyimpangan yang bisa terjadi.
Kelima, Bung Karno menolak kosmopolitanisme, sebuah paham yang tidak
mengakui adanya bangsa. Dalam era sekarang ini saya mengingatkan bahwa
meski kita hidup dalam perkampungan dunia tapi kita harus punya rumah.
Rumah itu adalah Indonesia, kebangsaan kita di tengah bangsa-bangsa di
dunia.
Kita menganut nilai-nilai universal, interaksi satu sama lain, toh kita tetap membutuhkan jati diri, siapa kita, Indonesia.
Oleh karena itu, berkaitan dengan momentum penting ini saya ingin
mengingatkan, mengajak, meski dunia sekarang ini ada ikatan solidaritas
bersifat global, ikatan atau komunitas Islam, sedunia, ikatan atau
komunitas kristen dan katolik sedunia.
Tetaplah yang pertama-tama dan yang utama adalah ikatan kebangsaan
kita dan kita harus menolak yang disebut “no state borderless world”.
Meski dunia seolah-olah sudah “borderless” tetapi ada bangsa, rumah,
jati diri, jangan lebih setia pada ikatan di luar ikatan bangsa kita.
Keenam, Bung Karno menyebut dalam pidato beliau dan juga dalam satu
nafas kata-kata mufakat, permusyawaratan, dan perwakilan, dan yang ingin
digarisbawahi di situ dalam demokrasi kita yang disebut “fair play”.
Kata-kata itu ada dalam pidato1 Juni 1945. Kalau ingin kepentingan
kita digarisbwahi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus berjuang
secara demokratis. Aktualisasinya adalah mari kita terus jaga semangat
konstitusi kita, mari terus jalankan sistem politik demokrasi, mari
terus selenggarakan pemilu kredibel.
Dibanding prinsip “one man one vote”, ada kalanya “consensus
building” sebagai musyawarah mufakat sebagai bagian dari demokrasi. Ada
pandangan semua harus divoting, tidak harus begitu.
Ada kalanya musyawarah itu menyediakan solusi asalkan ikhlas dan
tidak ada paksaan atau tekanan. Ini adalah aktualisasi harus dipikirkan.
Ketujuh, konsep negara gotong royong yang ditawarkan Bung Karno
esensinya adalah semua buat semua, bekerja keras bersama saling membantu
satu sama lain.
Itu ada kata-kata seperti itu. Kalau kita aktualisasikan saya ingin
mengangkat kembali pidato saya ketika memperingati seratus tahun
kebangkitan nasional.
Di abad ke21 ini Insya Allah Indonesia bisa menjadi negara maju
dengan syarat kita bisa meningkatkan kemandirian, daya saing, dan
peradaban unggul, dan itu bisa dicapai kalau negara mengutamakan
kebersamaan, persatuan, dan kerja keras. Maka tiada lain konsep gotong
royong disampaikan Bung Karno adalah semua buat semua, bekerja keras
bersama, saling bantu sama lain.
Itulah tujuh pikiran penting Bung Karno yang ada dalam pidato 1 juni
1945 kalau itu kita bedah, telaah, kupas. Masih banyak lagi tentunya
pikiran-pikiran lain yang masih ada forum lain untuk membahasnya.
Sekarang bagaimana kita menggunakan Pancasila sebagai rujukan dalam
menjawab tantangan bangsa di tengah dunia yang terus berubah.
Saya ingin dalam kesempatan ini menyampaikan kerisauan kita karena
ada sejumlah pandangan yang tentunya harus diubah, di antara kita ada
yang gamang melihat perubahan besar baik di tingkat nasional atau
global. Ada yang melihat globalisasi dari kacamata ancaman semata. Di
sini ingin saya tambahkan bahwa Pancasila pun oleh kita sering
diletakkan sebagai pedoman untuk menangkal ancaman itu, itu benar,
tetapi tidak hanya itu.
Sebagai suatu kekuatan dalam arti luas sesungguhnya Pancasila bisa
kita jadikan sesuatu untuk menciptakan peluang untuk menjawab berbagai
soal global, jadi sesuatu yang defensif kita ubah menjadi sesuatu lebih
aktif dan proaktif.
Untuk melengkapi penjelasan ini saya ingin mengajak saudara-saudara
memahami perkembangan global yang terjadi 25 tahun terakhir ini dengan
realitas-realitas penting geopolitik dan pergeseran ideologi besar oleh
masyarakat dunia.
Isu besar dan mendasar sekarangg ini adalah berkaitan dengan tatanan
ekonomi dunia. Prosesnya kalau kita kilas balik sejak runtuhnya perang
dingin adalah setelah perang dingin berakhir bangunan ekonomi yang
bertumpu pd marxisme komunisme dianggap gagal menyejahterakan rakyat.
Simak sekarang perubahan pilihan ekonomi di RRC, Rusia, Vietnam, dan
Eropa timur.
Tiongkok mengatakan ekonomi pasar sosial, tapi sudah mulai memasuki
wilayah ekonomi pasar. Seolah dalam kaitan ini yang benar adalah ekonomi
kapitalisme.
Itu penggalan pertama setelah berakhirnya perang dingin, tiba-tiba
dunia dicengangkan ketika pada 2008-2009 lalu dunia kembali diguncang
oleh krisis ekonomi, resesi besar.
Tadinya yang disalahkan hanya marxisme komunisme, kini dunia
memandang bahwa kapitalisme apalagi yang fundamental dianggap tidak
aman, adil, dan gagal mendatangkan kemakmuran bangsa karenanya hukum dan
otoritas pasar digugat dan dilakukan koreksi besar-besaran.
Indonesia juga mengambil bagian aktif dalam membangun “new economist order” ini baik dalam forum G20, APEC, dan lain-lain.
Dengan cerita ini, apa yang terpikir? Apa kaitan dengan pancasila?
Kita bisa mengambil satu kesimpulan bahwa “justice” yaitu menjadi
elemen utama dari pancasila, keadilan sosial atau istilah Bung Karno
kesejahteraan sosial dalam sistem kapitalisme sering diabaikan prinsip
semua untuk semua atau prosperity for all.
Dalam ekonomi dunia gagal diwujudkan kesetaraan antarta negara maju dan terbelakang.
Antara negara-negara kaya dan miskin menganga jurang kesenjangan.
Berarti kapitalisme gagal untuk menghadirkan kesejahteraan untuk semua
dalam masyarakat global. Campur tangan pemerintah sekalipun untuk urusan
“justice” dalam hukum ekonomi pasar juga sering ditabukan meski
Indonesia tentu tidak memilih itu. Terjawablah bahwa Pancasila
sesungguhnya relevan.
Belajar dari pergeseran ideologi dunia, gagalnya kapitalisme dan
komunisme, masih berkaitan dengan perkembangan dunia, sekarang ini saya
ingin menambahkan satu lagi.
Ini fenomena global yang fundamental, ada pergeseran, persesuaian,
dan “adjustment” dari negara-negara di dunia dalam menganut
ideologi-ideologi besar.
Sekarang ini hampir tidak ada satupun negara di dunia yang secara
ekstrem menggunakan satu ideologi ekonomi dunia. Dalam khasanah ideologi
dunia, misalnya neoliberalieme, komunisme, sosialisme, sudah banyak
varian dari itu semua, varian dari kapitalisme, sosialisme.
Eropa ada yang menganut ekonomi kesejahteraan negara, dulunya
kapitalis seperti ajaran Adam Smith dan lain-lain sudah bergeser
mengadopsi nilai-nilai sosialisme. Negara dulu benar-benar marxisme
telah memahami esensi pasar.
Tapi dalam bingkai keadilan sosial oleh karena itu terhadap semua itu
Indonesia sepatutnya tak perlu silau karena kembali kepada apa yang ada
di pancasila, ada resep, prinsip dasar dan falsafah ekonomi kita. Kita
memilih kesejahteraan berkeadilan sosial.
Sebagai substansi, sebagai penutup, marilah kita terus menjadikan
Pancasila sebagai “living ideology” dan “working ideology” yang adaptif,
responsif.
Pancasila tentu tidak patut kita perlakukan sebagai dogma kaku,
apalagi dikeramatkan karena justru menghalang-halangi Pancasila untuk
merespon tantangan jaman baik pada tingkat nasional maupun dunia. Dan
itulah nilai terbesar dari Pancasila ketika kita aktualisasikan untuk
menghadapi tantangan jaman masa kini dan masa mendatang.
Wassalamualaikum Wr Wb.
sumber: http://www.kampungtki.com/baca/14018
No comments:
Post a Comment